Aku pernah kecewa. Kecewa yang amat dalam. Atas apa yang selalu ku
harapkan, kemudian dibiarkan terkhianati lalu ditinggal pergi. Saat mereka
berpikir semua telah kembali pada kondisi yang normal dan menganggap bahwa aku
bisa menjalani seperti biasa, itu semua salah. Belum pernah sekali pun hati ini
mampu menerima kenyataan bahwa dikhianati itu pilu.
Aku, hati dan jiwa ini tidak pernah berpikir untuk mengikuti jalan
yang munafik. Mendustai kenikmatan dan selalu mengharapkan kesengsaraan. Jika
memang aku harus kelaparan, kuterima. Karena dengan begitu aku tau apa yang
membuat ku kelaparan. Jika memang aku harus kehausan dan kehilangan suara,
kuterima. Karena dengan begitu aku tau pentingnya air bagi tubuh ku. Jangan
paksakan padaku untuk menerima kemahsyuran.
Aku dan kacamataku memang tak bisa melihat seberapa jauh ketulusan
mereka, yang berjanji untuk terus bertahan apapun kenyataannya. Yang mau terus
berkorban meskipun itu dusta. Yang mau berkata ‘iya’ walaupun itu tidak, dalam
arti seluruhnya. Tinggalkan saja aku, pemilik jiwa yang keras.
Adapun aku menerima apa yang diberikan-Nya itu karena aku tak bisa
mengelak dari takdir. Aku bukan Rasul yang bisa berkomunikasi dengan Allah SWT.
Aku bukan jin yang menolak semua takdir yang telah ditentukan Allah SWT. Aku
juga bukan malaikat, yang tau takdir dan selalu menerimanya karena yakin itu
yang terbaik dari Allah SWT. Aku punya keterbatasan.
“Ya Rabb, jiwa ini sepenuhnya milik Mu. Kekuasaan Mu untuk
menentukan arah. Akan kemanapun hidup ini berjalan kuserahkan hamper seutuhnya
pada Mu, karena sisanya hamba masih menggunakan insting manusia yang tak pernah
merasa puas. Ya Rabb, kerasnya watak ini sungguh milik Mu, hanya Engkau yang
mampu mengubahnya menjadi penyabar, selalu bertenggang rasa atas perbedaan,
selalu penyabar atas segala yang bukan keinginan hamba, karena seutuhnya akan
kembali pada Mu.
Namun satu yang saat ini menjadi pemikiran hamba, ya Maliik. Apakah
jiwa dan watak yang keras ini bisa sembuh? Menjadi wanita yang murah senyum
pada kesalahan yang pernah ada, pada semua kekosongan hati yang menyita waktu
ku untuk Mu, mampu bersabar saat yang lain menguji keimanan ku, saat memang
semakin banyak orang yang mengkhianati hamba hanya karena harta rampasan?
Jika memang tidak ya Rabb, mudahkan jalan hamba untuk bisa
menghargai setidaknya. Menghargai mereka yang datang kembali untuk terus
mengharap senyuman hamba, untuk terus menginginkan waktu bersama dengan hamba,
berbagi cerita sebagai pembelajaran bersama. Namun jika kau berikan hamba waktu
untuk bisa melunakkan kejahatan hati ini, tunjukkan cara untuk bisa memaafkan
mereka yang pernah menghianati hamba, yang pernah hamba percaya tapi justru
mengecewakan, yang pernah hamba tunggu tapi justru meninggalkan, yang pernah
mengangkat hamba tinggi tapi kemudian hamba dijatuhkan. Kembalikan rasa percaya
yang dulu pernah hamba berikan pada mereka, orang – orang yang sebenarnya hamba
sayangi sebagai mahluk ciptaan Mu.”